Thursday, August 6, 2009

KEBAKARAN LAHAN

Dari Suntik sampai "Bom Air"

Rabu, 5 Agustus 2009 | 05:25 WIB

Oleh YUNI IKAWATI

Kemarau kering selalu diikuti kebakaran lahan yang timbulkan polusi asap. Hal itu kembali terulang hari-hari ini. Bencana karena ulah manusia ini diatasi dengan berbagai cara, mulai dari penyuntikan air hingga mengguyurkan air dengan keranjang bambi dan dengan pesawat khusus.

Di antara wilayah lain di Indonesia, Kalimantan dan Sumatera tergolong yang paling sering dilanda kebakaran lahan dan menjadi sumber pencemaran asap. Penyebabnya, di dua kawasan itu gencar dilakukan pembukaan lahan untuk perkebunan pada lahan gambut dengan cara membakar.

Data citra satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) yang dikeluarkan Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Departemen Kehutanan pada Senin (3/8) menunjukkan, tiga provinsi yang paling banyak terpantau titik panas adalah Kalimantan Barat (461), Sumatera Selatan (249), dan Riau (206).

Adapun Selasa (4/8) terjadi peningkatan di Sumsel (316). Kalbar masih yang paling banyak (414). Selain di tiga provinsi tersebut, terpantau lonjakan jumlah titik panas di Jambi (232) dan Bangka Belitung (137). Demikian dikatakan Koordinator di Stasiun Penerima Citra Satelit NOAA milik Dephut Israr Albar.

Kebakaran lahan itu terjadi karena beberapa faktor, yaitu terjadinya kemarau yang kering sekitar April hingga Oktober, adanya tutupan vegetasi berupa rumput dan semak belukar kering, serta tanah mengandung bahan organik tinggi, seperti tanah gambut—yang sangat berpotensi menimbulkan kebakaran. Kebakaran kemudian terjadi karena ada pembakaran limbah perkebunan oleh pekebun.

Selain data satelit dari NOAA untuk pemantauan dan deteksi titik panas di permukaan bumi, digunakan pula data dari Moderate Imaging Resolution Spectroradiometer (Modis) dan Along Track Scanning Radiometer (ATSR). Data tersebut diterima oleh stasiun milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), ujar Totok Suprapto, Kepala Bidang Pemantauan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Lapan.

Satelit tersebut dilengkapi dengan pengukur atau sensor radiasi gelombang elektromagnetik dari permukaan bumi. Ada sensor termal yang digunakan untuk pemantauan titik panas dan sensor cahaya tampak untuk mengidentifikasi kabut asap.

Upaya pemadaman

Menurut Kepala Subdirektorat Program dan Evaluasi Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan Dephut Harry Santoso, data tersebut digunakan sebagai patokan untuk penanganan kebakaran. Penanganan dilakukan dengan mengerahkan regu pemadam kebakaran yang dilengkapi peralatan memadai.

Untuk mengatasi kebakaran hutan, Departemen Kehutanan mulai tahun 2002 membentuk brigade pengendalian kebakaran hutan yang dinamai Manggala Agni. Pasukan pemadam kebakaran hutan kini telah dibentuk di 10 provinsi yang rawan kebakaran lahan, yaitu Sumatera Utara, Jambi, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Barat.

Jumlah anggota Manggala Agni adalah 1.590 orang, terbagi dalam 106 regu. Di antara brigade ini ada 197 orang pasukan khusus yang disebut SMART (Satuan Manggala Agni Reaksi Taktis) yang akan diturunkan pertama kali untuk menangani kobaran api dan kabut asap.

Kebakaran lahan selama ini sulit dipadamkan karena terjadi di kawasan gambut. Penjalaran api terjadi di bawah permukaan. Oleh karena itu, Manggala Agni dilengkapi dengan pipa suntik sepanjang 2 meter-3 meter yang memiliki beberapa lubang di beberapa bagian pipa itu. Untuk memadamkan bara api, pipa ditancapkan hingga kedalaman 2 meter lalu dialiri air bertekanan. ”Alat ini karya inovasi peneliti di Dephut, tetapi belum dipatenkan,” kata Harry.

Operasi pemadaman kebakaran lahan juga didukung dengan penyiraman lewat udara menggunakan tangki air, disebut bambi bucket, yang diangkut oleh helikopter.

Kapasitas tangki itu 500 liter. Pengguyuran air dari tangki tersebut dilakukan di Rokan Hilir, Riau. Pemadaman yang melibatkan dua helikopter milik polisi udara tersebut berlangsung selama 10 hari.

”Bambi bucket digunakan untuk daerah yang sulit diakses oleh Manggala Agni. Dan untuk tingkat kebakaran yang tergolong kecil,” ujar Harry.

Teknik modifikasi cuaca

Menghadapi gejala El Nino yang masih akan berlangsung hingga April 2010, UPT Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) juga menyiapkan dua pesawat terbang dan tim untuk melakukan teknologi modifikasi cuaca.

Dijelaskan Kepala Pusat Teknologi Modifikasi Cuaca BPPT Samsul Bahri, UPT HB sebagai salah satu unit di bawah BPPT sesuai dengan tugas pokok fungsinya melaksanakan pengkajian dan penerapan TMC serta memberikan pelayanan kepada masyarakat, instansi pemerintah, dan swasta.

Dalam melaksanakan TMC, tutur Samsul, dari pesawat akan ditebarkan serbuk garam halus untuk mempercepat terjadinya kondensasi pada kumpulan awan untuk dapat mempercepat hujan.

Untuk pembersihan asap dan pemadaman kebakaran hutan dan lahan, pelaksanaan operasi TMC dapat dilakukan mulai Agustus 2009 hingga Oktober 2009, yaitu untuk wilayah Provinsi NAD, Riau, Kalbar, Kalteng, dan Kalsel.

UPT HB juga telah menyiapkan TMC pada Agustus 2009 hingga April 2010. Untuk itu akan dikerahkan tiga pesawat terbang jenis Caca NC 200 tipe Rain Maker, bahan semai awan jenis bubuk dan flare (nyala api), satu unit mobil radar cuaca, 50 personel peneliti dan perekayasa, peralatan komunikasi, peralatan navigasi GPS, serta penakar hujan otomatis dan manual.

Adapun untuk menambah curah hujan di waduk dan danau yang strategis di Indonesia, sebagai antisipasi kebutuhan air pertanian pada musim tanam MT I dan II, pelaksanaan operasi TMC dapat dilakukan mulai Oktober 2009 hingga April 2010 untuk wilayah Provinsi Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.

Untuk itu telah dilakukan koordinasi yang intensif dengan instansi terkait, khususnya Badan Nasional Penanggulangan Bencana di Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat serta Kementerian Negara Riset dan Teknologi.

Ditambahkan Samsul, bila kebakaran hutan meningkat, ditanggulangi dengan menggunakan pesawat terbang dilengkapi tangki pengangkut air. Tahun 2006, misalnya, digunakan pesawat pengebom air milik Rusia berkapasitas 12.000 liter. Pesawat ini dapat melakukan manuver di atas permukaan sungai untuk mengambil air. Air diangkat dan dijatuhkan di lokasi kebakaran.

Menurut Harry, Amerika Serikat juga mengembangkan pesawat terbang jenis ini dengan berbagai kapasitas angkut, dari 5.000 liter hingga 12.000 liter.